Pendahuluan
Bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu mengenang jasa para pahlawannya, selain itu juga sangat melindungi dan melestarikan budayanya, termasuk adat-istiadat bangsanya. Hal ini merupakan modal berharga bagi upaya pemantapan ketahanan mental spiritual dalam menghadapi pengaruh negatif yang dibawa oleh arus globalisasi yang terjadi pada saat ini. Apabila tidak kita waspadai, bukan tidak mungkin bahwa hal itu akan bisa menimbulkan erosi terhadap budaya bangsa kita.Pada tahun 2008 ini kita melakukan refleksi perjalanan sejarah bangsa sejak Kebangkitan Nasional tahun 1908 sampai saat ini. Perempuan merupakan bagian dari bangsa Indonesia yang sejak dahulu kala berkiprah dalam berbagai bidang kehidupan. Karena itu membicarakan tentang kebangkitan Nasional, kita tidak boleh melupakan pula kebangkitan perempuan Indonesia sebagai bagian dari kebangkitan nasional.Setelah 100 tahun semangat kebangkitan nasional dikumandangkan dan menjelang 63 tahun Indonesia merdeka, kita masih harus mengejar pencapaian cita-cita para pendiri bangsa sebagai tujuan Pembangunan Nasional, yakni masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera secara merata. Kita masih harus meningkatkan lagi mutu pendidikan, kesehatan masyarakat dan tingkat ekonomi serta menghadapi berbagai tantangan baru dalam kehidupan kita.Perempuan adalah bagian dari masyarakat yang berhubungan sangat erat dengan masalah kesejahteraan masyarakat. Dalam keadaan krisis perekonomian, perempuanlah yang paling merasakan akibat dari krisis tersebut. Akan tetapi, dalam keadaan yang kritis, seringkali perempuan lebih mempunyai inisiatif, bangkit dan menggerakkan masyarakat sekitarnya untuk memperbaiki kondisi perekonomian, mulai dari perekonomian keluarga, meluas sampai ke perekonomian rakyat.
Kebangkitan Perempuan Indonesia
Perempuan Indonesia memiliki peranan dan kedudukan sangat penting sepanjang perjalanan sejarah. Kiprah perempuan di atas panggung sejarah tidak diragukan lagi.Gerakan kebangkitan nasional berhubungan dengan politik etis Hindia-Belanda yang memberi kesempatan bagi para bumiputera untuk bersekolah. Sebenarnya maksud pemerintah Hindia Belanda adalah untuk menghasilkan buruh-buruh terdidik, guru-guru, birokrat rendahan yang cukup terdidik, dokter-dokter yang mampu menangani penyakit menular pada bangsa pribumi. Tindakan ini dilakukan karena Hindia Belanda harus menekan biaya operasional tanah jajahan (Indonesia) yang terlalu mahal bila menggunakan tenaga impor dari Belanda.Meskipun yang diizinkan memasuki sekolah Belanda saat itu hanyalah kaum bangsawan, priyayi, dan kaum elite, ternyata para pemuda bumiputera kemudian berbondong-bondong memasuki Sekolah Rakyat, HIS, MULO dan HBS, hingga sekolah dokter (STOVIA), dan sekolah guru (Kweekschool). Dengan bersekolah mereka mampu membaca buku-buku berbahasa Belanda dan Inggris. Buku-buku ini membuka mata dan hati pelajar dan mahasiswa tentang perjuangan pembebasan nasional di seluruh negeri di bumi ini. Dibukanya sekolah-sekolah Belanda untuk elite pribumi dan para ningrat, telah menghasilkan sekumpulan orang-orang muda berpendidikan Barat yang kelak menjadi tulang punggung gerakan pembebasan nasional.Pencerahan dalam dunia pendidikan tersebut menggugat orang-orang muda untuk berkumpul, berbicara, berdiskusi dan menentukan. Tahun 1908 lahirlah organisasi yang dinamakan Budi Utomo. Sebelum Budi Utomo berdiri, telah lahir seorang pejuang perempuan, yaitu R.A. Kartini (1879-1904). Beliau adalah pelopor dan pendahulu perjuangan untuk pendidikan perempuan dan persamaan hak perempuan. Kartini berpendapat bahwa bila perempuan ingin maju dan mandiri, maka perempuan harus mendapat pendidikan. Kartini selama ini kita kenal sebagai seorang pejuang emansipasi perempuan, terutama di bidang pendidikan. Kartinilah yang membangun pola pikir kemajuan, dengan cara menggugah kesadaran orang-orang sejamannya, bahwa kaum perempuan harus bersekolah. Tidak hanya di Sekolah Rendah, melainkan harus dapat meneruskan ke sekolah yang lebih tinggi, sejajar dengan saudara-saudaranya yang laki-laki.Bagi Kartini, perempuan harus terpelajar sehingga dapat bekerja sendiri, mencari nafkah sendiri, mengembangkan seluruh kemampuan dirinya, dan tidak tergantung pada siapa pun, termasuk suaminya. Mengingat suasana pada waktu itu, ketika adat feodal masih sangat kental di sekeliling R.A. Kartini, maka dapat kita bayangkan, betapa maju dan progresifnya pikiran R.A. Kartini tersebut. Selain itu, meskipun dalam situasi pingitan, terisolasi, dan merasa sunyi, Kartini mampu membangun satu gagasan politik yang progresif pada jaman itu, baik untuk kepentingan kaum perempuan maupun bagi para kawula miskin di tanah jajahan.Namun sayang, selama ini ada bias gender dalam penulisan sejarah tentang perjuangan R.A. Kartini. Sebagai sosok perempuan cerdas dengan cara pandang yang sangat hebat pada saat itu, penulisan sejarah tentang beliau lebih banyak menonjolkan sisi keperempuanan R.A. Kartini dibandingkan dengan sisi intelektualnya. Penggambaran tokoh perempuan sedemikian rupa sehingga tidak dapat dilepaskan dari konstruksi sosial yang berlaku di masyarakat, yaitu menempatkan perempuan dalam konteks keterbatasan yang dianggap telah sesuai dengan "kodratnya" sebagai seorang perempuan, beliau bukan dianggap sebagai salah satu perintis nasionalisme etnis di Nusantara (Jawa), yang berdampak pada era pra-kemerdekaan Indonesia (lihat: Arbaningsih, 2005: 6).Gagasan-gagasan brilian dari Kartini tersebut kemudian diikuti oleh beberapa tokoh perempuan lainnya, seperti Raden Dewi Sartika yang mendirikan Sekolah Keutamaan Isteri di Bandung dan Rohanna Kudus yang mendirikan perusahaan penerbitan koran Soenting Malajoe. Namun Kartini sendiri tetap sebagai Sang Pemula. Beliau adalah simbol gerakan perempuan Indonesia yang mengawali seluruh tradisi dan intelektual gerakan perempuan Indonesia, berikut gagasan paling awal dalam melihat ketertindasan rakyat di bawah feodalisme dan kapitalisme. Mungkin saja bahwa gagasan dari R.A. Kartini ini turut menginspirasi Dr. Soetomo untuk membentuk pergerakan kebangsaan yang berbentuk Kebangkitan Nasional.Namun, jauh sebelum sejumlah priyayi terdidik Jawa mengumumkan berdirinya Budi Utomo, perjuangan melawan Belanda telah dimulai di mana-mana. Perjuangan saat itu bukan untuk pembebasan Indonesia, karena gagasan pembebasan Indonesia belum lahir sebagai sebuah realitas, tetapi masih untuk pembebasan tanah leluhur, gunung-gunung, bukit, sungai, pulau dan rakyatnya. Di akhir abad ke-19, perempuan-perempuan muda mulai terlibat dalam perjuangan bersenjata melawan penjajah. Meskipun awalnya hanya sebatas membantu suami atau saudara laki-lakinya, tetapi kemudian para perempuan ini sungguh-sungguh menjadi pemimpin pasukannya. Cut Nyak Dhien dan Cut Nyak Meutia bersama Teuku Umar, Martha Christina Tiahahu bersama Kapitan Pattimura, Emmy Saelan mendampingi Walter Monginsidi, serta Roro Gusik bersama Suropati. Pada era selanjutnya, muncul Maria Walanda Maramis dan Nyi Ageng Serang. Pada perjuangan mereka saat itu adalah untuk memajukan kaum perempuan sehingga terdidik dan terpelajar, sehingga mampu mandiri.Setelah kebangkitan nasional, perjuangan perempuan semakin terorganisir. Seiring dengan terbentuknya berbagai organisasi nasional atau pun partai politik, maka pergerakan perempuan pun mulai terbentuk, baik sebagai sayap atau bagian dari organisasi perempuan yang sudah ada, atau pun membentuk wadah organisasi perempuan tersendiri yang dilaksanakan oleh perjuangan perempuan di satu sektor atau tingkat tertentu. Di sisi lain, perkembangan gerakan berbasiskan agama, seperti Muhammadiyah, turut pula membentuk polarisasi dalam gerakan perempuan, yaitu Aisyiah. Berbagai karya jurnalisme pun bertebaran, bukan hanya dalam Bahasa Belanda, melainkan terutama dalam bahasa Melayu. Sejalan dengan itu, kiprah sejumlah sastrawati mulai muncul ke permukaan. Gairah nasionalisme tengah mencari jalan untuk memodernisasikan dirinya.Gerakan perempuan pun terus berkembang dan menyesuaikan dinamikanya dengan perkembangan perjuangan kebangkitan bangsa. Nasionalisme menjadi gagasan yang diterima di seluruh kekuatan politik yang ada, sehingga konsepsi persatuan menjadi lebih mudah untuk diwujudkan. Karena itu, setelah Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, Kongres Perempuan Indonesia tingkat nasional pertama kali diadakan di Yogyakarta pada tanggal 22 Desember 1928 yang dihadiri oleh hampir 30 organisasi perempuan. Kongres ini merupakan fondasi pertama gerakan perempuan, dan sebagai upaya konsolidasi dari berbagai organisasi perempuan yang ada. Kongres Pertama ini menghasilkan federasi oganisasi perempuan yang bernama Persatoean Perempoean Indonesia (PPI). Setahun kemudian PPI diubah menjadi PPII (Perikatan Perhimpunan Isteri Indonesia). PPII sangat giat di bidang pendidikan dan usaha penghapusan perdagangan perempuan. Pada tahun 1932, dalam kongresnya, PPII mengangkat isu perjuangan melawan perdagangan perempuan dan salah satu keputusan penting yang diambil adalah mendirikan Perkumpulan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak (P4A).2Setelah Kongres Perempuan Indonesia tingkat nasional pertama, organisasi perempuan semakin berkembang, yang ditandai dengan makin banyaknya jenis gerakan perempuan dan semakin terbuka wawasannya. Pada periode sebelumnya, lingkup kegiatan hampir semua organisasi perempuan hanya meliputi masalah emansipasi dan usaha menjadikan perempuan lebih sempurna dalam menjalankan peran tradisionalnya sebagai perempuan. Pada periode ini mulai muncul organisasi-organisasi yang membuka wawasan perempuan melampaui lingkup rumah tangga dan keluarga. Organisasi-organisasi baru ini menjadikan masalah-masalah politik dan agama sebagai pokok perhatiannya. Padahal sebelumnya semua organisasi yang bergabung dalam PPPI (Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia) menolak mencampuri urusan politik dan agama.Organisasi "Isteri Sedar" yang didirikan di Bandung pada tahun 1930, selain berjuang untuk kemerdekaan Indonesia juga memperjuangkan penghargaan dan kedudukan perempuan dan laki-laki agar sama dan sejajar. Organisasi ini juga bersikap kritis terhadap norma-norma adat, tradisi dan agama yang pada prakteknya merugikan kaum perempuan. Isteri Sedar bersikap anti dan selalu dengan pedas menyerang imperialisme dan kolonialisme.Pada bulan Juni 1932 beberapa organisasi yang tidak beazaskan agama bergabung menjadi satu dengan nama "Isteri Indonesia" yang memperjuangkan Indonesia merdeka dengan dasar demokrasi. Organisasi baru ini giat berusaha agar perempuan bisa duduk dalam dewan-dewan kota. Selain itu juga memperhatikan masalah perkawinan dan perceraian yang pada waktu itu pengaturannya banyak merugikan kaum perempuan.Pada kongresnya yang kedua, ketiga dan keempat (1935, 1938, dan 1941), PPPI membicarakan berbagai isu sekitar kewajiban kebangsaan (walaupun tetap dengan tekanan pada kewajiban menjadi Ibu Bangsa), masalah hak memilih dalam badan-badan perwakilan dan dewan kota, serta beberapa masalah politik lainnya.Selain organisasi-organisasi tersebut di atas, mulai muncul juga organisasi yang anggotanya terdiri dari para perempuan yang bekerja di luar rumah. Demikianlah pada tahun 1940 untuk pertama kalinya dibentuk di Jakarta, sebuah perkumpulan yang bernama Perkumpulan Pekerja Perempuan Indonesia, yang beranggotakan para perempuan yang bekerja di kantor, baik pemerintah ataupun swasta, sebagai guru, perawat, pegawai kantor, dan sebagainya. Namun, dilihat dari kegiatannya, organisasi organisasi tersebut belum dapat dikatakan sebagai organisasi profesi, karena pada umumnya kegiatan mereka ditekankan pada pendidikan keterampilan keperempuanan dan pemupukan kesadaran kebangsaan, sehingga tidak berbeda jauh dengan kegiatan yang dilakukan oleh organisasi-organisasi perempuan lainnya.Pada jaman Pendudukan Bala Tentara Jepang (1942-1945), penjajah Jepang melarang semua bentuk organisasi, termasuk organisasi perempuan dan membubarkannya. Kemudian dibentuk organisasi-organisasi baru dengan dalih sebagai propaganda untuk kepentingan dan kemakmuran bangsa-bangsa Asia Timur Raya. Untuk organisasi perempuan yang dibentuk oleh para isteri pegawai di daerah-daerah, dan diketuai oleh isteri masing-masing kepala daerah, dan disebut Fujinkai. Kegiatan Fujinkai dibatasi hanya pada urusan-urusan keperempuanan dan peningkatan keterampilan domestik, selain kegiatan menghibur tentara yang sakit dan kursus buta huruf. Bagi para perempuan yang mempunyai wawasan luas, pembatasan ini merisaukan dan mereka tidak ikut masuk Fujinkai. Kenyataan ini menjadikan adanya dua jenis orientasi di kalangan aktivis perempuan, yaitu mereka yang berkooperasi dengan pemerintah bala tentara Dai Nippon dan yang non-kooperatif atau memilih bergerak diam-diam di bawah tanah.Setelah kemerdekaan, organisasi perempuan kembali bergerak, akan tetapi karena pada awal kemerdekaan Negara Republik Indonesia masih diliputi oleh perjuangan mempertahankan kemerdekaan, maka perjuangan perempuan Indonesia adalah mendukung para pejuang dalam gerilya atau pertempuran. Selanjutnya setelah di Indonesia diperbolehkan mendirikan partai politik, maka sejumlah perempuan masuk menjadi anggota partai politik, bahkan pada tahun 1948 sempat berdiri Partai Wanita Rakyat atas inisiatif Ibu Sri Mangunsarkoro di Yogyakarta. Partai ini berazaskan ketuhanan, kerakyatan, kebangsaan dan mempunyai program perjuangan yang sangat militan. Demikian juga dengan keputusan kongres Kowani pada tahun 1948 dan 1949, sangat sarat dengan muatan politis dan dengan semangat yang militan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sampai dengan tahun 1950, hasil politik yang dicapai kaum perempuan cukup banyak. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat pun meningkat. Hal inilah yang memungkinkan perempuan untuk turut dalam pengambilan keputusan dan pembuatan undang-undang. Demikian juga di bidang eksekutif, pada tahun 1950 telah diangkat dua orang menteri perempuan, yaitu Ny. Maria Ulfah Santoso sebagai Menteri Sosial dan Ny. S.K. Trimurti sebagai Menteri Perburuhan.Setelah tahun 1950, organisasi perempuan berkembang seiring dengan berkembangnya partai-partai di Indonesia. Banyak organisasi perempuan yang menjadi bagian perempuan dari suatu partai, seperti Wanita Marhaenis, Gerakan Wanita Sosial, Gerwani, dan lain-lain.
Ada pula partai yang bergerak dan merupakan bagian dari organisasi keagamaan, seperti Aisyiah, Wanita Katolik, selain itu juga organisasi perempuan yang berdiri sendiri tanpa ikatan dengan partai lain, seperti Perwari, dan banyak lagi organisasi perempuan yang bergerak di bidang sosial dan kesejahteraan masyarakat.Pada tahun 1952, lahir organisasi yang menghimpun para isteri Kementerian Dalam Negeri yang sifatnya nonpolitik, namun tetap mengikuti perkembangan jaman. Selain dari isteri pegawai Departemen Dalam Negeri, masing-masing departemen juga membentuk perkumpulan isteri pegawainya, sehingga seluruhnya ada 19 organisasi isteri pegawai di masing-masing departemen, misalnya, Artha Kencana (Dep.Keuangan), Idhata (Dep. Pendidikan dan Kebudayaan), dan lain-lain.Pada perkembangan selanjutnya, pada masa Orde Baru semua organisasi isteri karyawan departemen bergabung dan melebur menjadi Dharma Wanita yang didirikan pada 5 Agustus 1974. Isteri dari Angkatan Bersenjata pun berhimpun menurut kesatuan suaminya masing-masing, seperti Persit, Bayangkari.Selain organisasi perempuan sebagai isteri pegawai, banyak juga organisasi perempuan yang berdiri berdasarkan profesi dari masing-masing karier dan profesi, termasuk dalam Angkatan Bersenjata, seperti perkumpulan perempuan dalam bidang jurnalistik, arkheologi, kesenian, pertanian dan lain-lain, sedangkan dalam Angkatan Bersenjata perempuan bergabung dalam Polisi Wanita, Wanita Angkatan Udara, Korps Wanita Angkatan Darat, dan Korps Wanita Angkatan Laut.Pada jaman Orde Baru, pemerintah telah menyadari bahwa perempuan perlu diberi peran dalam pembangunan. Untuk itu, perempuan dihimpun dalam tiga organisasi utama, yaitu PKK, Dharma Wanita, dan Dharma Pertiwi, yang menyebar mulai dari pusat sampai ke daerah pedesaan. Dharma Wanita adalah organisasi yang dimaksudkan bagi para isteri pegawai sipil, sedangkan Dharma Pertiwi adalah wadah berorganisasi bagi para isteri tentara dan polisi, sedangkan PKK atau Pembinaan Kesejahteraan Keluarga untuk kaum perempuan di masyarakat.Khusus untuk PKK, sebenarnya sasaran organisasi ini adalah untuk seluruh keluarga, namun pada perkembangannya, terpusat pada peran perempuan. Hal ini disebabkan oleh pentingnya peran serta perempuan dalam pembinaan keluarga, yang nantinya akan berdampak pula pada pembinaan dan kesejahteraan masyarakat, bangsa, dan negara.3
Kegiatan ketiga organisasi ini di samping untuk mengabdi pada program-program pemerintah, juga untuk membangun kaum perempuan lainnya dalam menjalankan peran perempuan Indonesia yang saat itu belum merasakan manfaat dari peran sertanya dalam pembangunan.Pada dekade akhir pemerintahan Orde Baru, isu gender mulai muncul, sehingga disadari bahwa perempuan harus diberdayakan. Dalam pembangunan yang bernuansa gender, perempuan dan laki-laki harus selalu mendapat akses yang sama dalam pembangunan, dapat berpartisipasi dan dapat mempunyai kesempatan yang sama dalam penetapan keputusan dan akhirnya dapat menikmati keuntungan dari pembangunan tersebut secara bersama-sama.
Keadaan Perempuan Indonesia Masa Kini
Keadaan perempuan masa kini, berkat inspirasi dari R.A. Kartini, telah banyak mendorong perempuan Indonesia untuk mencapai pendidikan tinggi. Perempuan telah mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk bersekolah. Hal ini dapat dilihat dari jumlah murid perempuan dan laki-laki seimbang pada tingkat Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan Pertama (SLTP). Akan tetapi jumlah perempuan makin berkurang seiring dengan meningkatnya jenjang sekolah. Hal ini disebabkan oleh masih adanya diskriminasi dalam keluarga terhadap anak perempuan untuk bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini terkait pada masih kuatnya budaya patriarki, yang menganggap bahwa "setinggi-tinggi perempuan bersekolah, akhirnya akan masuk dapur juga." Dengan adanya diskriminasi terhadap anak perempuan untuk bersekolah, maka persentase anak perempuan yang mencapai pendidikan minimal (Wajar 9 tahun) jauh lebih rendah dari anak laki-laki; begitu juga jumlah buta huruf perempuan pada umur 15-45 tahun jumlahnya 2-3 kali lebih banyak dari laki-laki. Rendahnya pendidikan perempuan berakibat pada usaha untuk mencari nafkah dan pemeliharaan kesehatan individu dan keluarganya. Semua ini mengakibatkan rendahnya Kualitas Hidup Perempuan (KHP).Diskriminasi terhadap perempuan setelah kemerdekaan 63 tahun ini tidak hanya terjadi pada kesempatan bersekolah bagi anak perempuan saja, melainkan masih pula terjadi pada dunia pekerjaan, untuk peningkatan karier dan dalam dunia politik praktis. Kita semua mengetahui bahwa prestasi anak perempuan di semua tingkat pendidikan (mulai SD sampai universitas) selalu menduduki peringkat yang tertinggi. Meskipun penelitian mengenai hal ini belum dilakukan, akan tetapi berdasarkan pengalaman, dari 10 peringkat tertinggi dari tiap jenjang pendidikan, ternyata 60%-70% adalah murid atau mahasiswa perempuan. Perempuan juga sudah mampu mencapai pendidikan tertinggi, seperti S1, S2, S3. Tenaga pengajar perempuan bergelar guru besar juga telah semakin meningkat. Juga perempuan masa kini sudah mampu melaksanakan tugas-tugas yang sebelumnya dianggap sebagai tugas laki-laki seperti pilot, sopir bus, satpam, insinyur perminyakan, insinyur mesin, insinyur tambang, dan lain-lain.Meskipun demikian, ternyata masih banyak hambatan bagi perempuan untuk mencapai kedudukan atau peningkatan prestasi seperti yang diharapkan, apalagi untuk kedudukan pimpinan atau pengambil keputusan lainnya. Untuk mencapai kedudukan yang setara dengan kedudukan laki-laki, seperti kedudukan pimpinan, dan pengambil keputusan, perempuan dituntut untuk mempunyai kelebihan prestasi yang lebih menonjol, serta harus melalui perjuangan yang sangat berat, padahal tuntutan semacam ini bagi laki-laki pun tidak dirasa perlu. Perjuangan perempuan yang berat untuk mencapai suatu kedudukan, disebabkan karena masih banyak masyarakat Indonesia yang masih menganut paham patriarki, sehingga menghasilkan keputusan dan sikap yang bias gender. Keadaan ini menjadi lebih parah dengan adanya penafsiran yang salah dari hukum agama yang mempertajam keadaan bias gender.Ketimpangan dan kurangnya peran serta perempuan dan rendahnya Kualitas Hidup Perempuan (KHP), secara umum mengakibatkan lambatnya keberhasilan dalam Pembangunan Nasional. Bila KHP perempuan rendah dan tidak diajak untuk berperan serta dalam pembangunan, maka perempuan akan menjadi beban pembangunan. Sebaliknya, bila perempuan diberi kepercayaan untuk berperan dalam pembangunan nasional, maka perempuan akan menjadi mitra sejajar bagi laki-laki yang ikut bahu-membahu dan meringankan beban pembangunan.Berdasarkan laporan Program Pembangunan PBB (UNDP) dalamHuman Development Report tahun 2006, yang mengukur pembangunan kualitas manusia melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI), ternyata nilai IPM Indonesia 2005 adalah 69,6. Angka yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara Asean, dan berada dalam ranking sepertiga terakhir. Untuk mengukur pembangunan berdasarkan gender, dipakai Indeks Pembangunan Gender (IPG). IPG Indonesia tahun 2005 adalah 65,1, jadi IPG lebih rendah dari IPM, yang berarti masih terjadi kesenjangan gender dan menandakan bahwa kualitas hidup perempuan masih sangat tertinggal dari kualitas hidup laki-laki. Nilai IPG adalah perbedaan kualitas hidup antara perempuan dan laki-laki.Pengukuran IPM dan IPG berdasarkan tiga kategori, yaitu tingkat pendidikan, kesehatan, dan kemampuan ekonomi masyarakat. Bedanya, pada IPG memakai pengukuran dibedakan antara perempuan dan laki-laki. Pengukuran lain yang menunjukkan ketimpangan peran laki-laki dan perempuan ditunjukkan juga dengan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG), yaitu indeks yang memperlihatkan peran aktif perempuan dalam kehidupan ekonomi dan politik serta pengambilan keputusan. Semua kategori pengukuran IPM, IPG maupun IDG di Indonesia masih sangat tertinggal, keadaan ini diperparah dengan terjadinya konflik antarsuku, budaya agama dan lain-lain. Kejadian kekerasan terhadap perempuan juga dapat menghambat pembangunan, karena dengan adanya kekerasan ini perempuan makin terpuruk dan makin tertinggal, sedangkan jumlah penduduk Indonesia, perempuan dan laki-laki hampir sama.Diskriminasi terhadap perempuan juga masih terjadi di Indonesia, keadaan ini ditandai oleh:
Tradisi yang mewajibkan perempuan mengurus urusan rumah tangga, atau tradisi yang melarang perempuan mengemukakan pendapat dalam kondisi apa pun.
Dalam bidang pendidikan, meskipun kesempatan sudah sangat terbuka bagi perempuan untuk sekolah setinggi-tingginya, namun bila biaya pendidikan dalam keluarga terbatas, maka anak perempuan harus mengalah kepada anak laki-laki. Bila beasiswa didapat oleh seorang perempuan bersuami, maka ijin dari suami mutlak didapatkan oleh sang isteri. Demikian pula, ketika seorang perempuan sudah menikah dan mempunyai anak, maka pendidikan pun biasanya dihentikan demi kepentingan keluarga.
Dalam bidang ekonomi, menurut survei terakhir, pendapatan perempuan biasanya hanya 60% dari pendapatan pria untuk waktu kerja dan posisi yang sama, ditambah kesalahan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam mendata pelaku ekonomi di sebuah keluarga. Bila sebuah keluarga, di mana seorang isteri berusaha di rumah seperti membuat kue atau pisang goreng untuk dijual, biasanya BPS hanya mendata isteri tersebut sebagai Ibu Rumah Tangga saja sehingga secara statistik, perempuan sedikit sekali berperan dalam sektor ekonomi. Padahal kenyataannya tidaklah demikian.
Dalam peningkatan karier di pekerjaan, meskipun perempuan mempunyai prestasi yang baik di sekolah maupun dalam pekerjaan, dalam penentuan kenaikan jabatan atau peningkatan karier perempuan, selalu dikalahkan dengan alasan yang sangat bias gender.
Partisipasi politik perempuan di Indonesia hanya 11% di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan 22% di DPD (Dewan Perwakilan Daerah).
Dalam bidang kesehatan, Angka Kematian Ibu (AKI) melahirkan di Indonesia sangat tinggi karena gizi yang buruk, anemia dan aborsi. Aborsi pun banyak dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga di Indonesia karena sudah terlalu banyak anak. Hal ini disebabkan kurangnya perhatian masyarakat, keluarga, dan para pejabat terhadap usaha pemberdayaan perempuan.
Penutup
Ketertinggalan kaum perempuan ternyata menjadi permasalahan yang tidak saja merugikan perempuan itu sendiri, akan tetapi juga merugikan pembangunan nasional/daerah secara keseluruhan. Jumlah penduduk perempuan adalah hampir sama dengan penduduk laki-laki, karena itu peran perempuan sangat berarti. Saya dapat mengatakan bahwa lambatnya pembangunan Indonesia selama hampir 63 tahun merdeka ini disebabkan karena kaum perempuan kurang berperan atau tidak diberi kesempatan untuk berperan dalam pembangunan, baik nasional maupun daerah. Sebagaimana telah saya singgung di atas, dalam melaksanakan program pembangunan, bila perempuan mempunyai kualitas hidup yang optimal, maka perempuan akan dapat bekerjasama dengan baik sebagai mitra sejajar laki-laki dalam pembangunan nasional/daerah. Sebaliknya, bila perempuan dibiarkan tidak berdaya atau kualitas hidupnya dibiarkan rendah, maka perempuan akan menjadi beban pembangunan, sehingga pembangunan akan terhambat.Perempuan Indonesia harus menjadi manusia Indonesia yang bermartabat dan maju, tidak kalah dengan bangsa-bangsa lain, juga harus mampu berperan aktif dalam pergaulan nasional maupun internasional. Diperlukan motivator untuk mendorong kaum perempuan untuk lebih berprestasi. Visi pembangunan pemberdayaan perempuan adalah tercapainya keadilan dan kesetaraan gender dalam keluarga, masyarakat, berbangsa dan bernegara, yang dalam pencapaiannya perlu dilaksanakan berbagai ragam kegiatan. Salah satu upaya yang ingin dicapai adalah meningkatkan kualitas hidup perempuan serta perlindungan perempuan dan anak dari segala bentuk kekerasan. Secara nyata dan kita sadari bersama bahwa seiring dengan perkembangan globalisasi, maka reformasi dan kehidupan yang demokratis dalam melaksanakan pemberdayaan perempuan di masa-masa mendatang akan menghadapi berbagai tantangan dan hambatan. Secara obyektif, hingga saat ini kendala dan tantangan di lapangan nampak semakin jelas dan menunjukkan betapa kesenjangan peran antara laki-laki dan perempuan nampak begitu kentara. Hal tersebut ditandai dengan banyaknya kebijakan-kebijakan publik yang masih sering mengabaikan perempuan sebagai titik perhatiannya, yang disebabkan oleh konsep gender yang belum banyak dipahami oleh berbagai pihak.Kita semua memahami bahwa apa yang kita upayakan selama ini untuk memberikan yang terbaik bagi peningkatan kualitas kaum perempuan, bukanlah hal yang mudah dan sederhana. Kami menyadari bahwa pemahaman akan kesetaraan dan keadilan gender (KKG) masih sangat bervariasi tingkatannya. Pelaksanaan pengarusutamaan gender yang merupakan strategi untuk mengintegrasikan gender ke dalam kebijakan dan program pembangunan di seluruh sektor pembangunan memerlukan suatu mekanisme kerja yang kuat, yang didukung dengan kualitas sumber daya manusianya.Kaum perempuan Indonesia, menurut pengamatan saya, bila diberi kesempatan akan mampu meningkatkan kualitasnya. Mereka adalah aset dan potensi pembangunan, dan kita harus terus melakukan strategi kesetaraan dan keadilan gender (KKG) dalam pembangunan nasional agar mereka tidak menjadi beban pembangunan. Bila perempuan dihambat untuk diberdayakan, maka dengan sendirinya juga akan menghambat upaya optimal untuk memajukan Pembangunan Nasional kita.